Rabu, 16 Juli 2008

Selasa, 01 Juli 2008

Tahu Diri (memahami perbedaan)

Dalam Islam yang sangat mulia ini perbedaan pendapat yang terjadi karena perbedaan cara pandang dan pemahaman dalil (ikhtilaf) bukan hal yang baru. Bahkan telah terjadi sejak pada zaman Nabi Muhammad SAW. Hanya, pada masa itu apabila ada perbedaan faham di antara para sahabat mereka dapat langsung merujuk pada baginda Rasul.

Sekarang Islam telah berkembang di seluruh dunia dengan penganut lebih dari satu milyar umat. Wajar adanya perbedaan dalam memahami Tauhid, Fiqh dan Iain-Iain. Masing-masing memiliki hujjah pada pendirian dan fahamnya.

Ada Ahlus Sunnah, Mu'tazilah, Murji'ah, Qodariyyah, dsb. Dalam kelompok yang mengaku Ahlus Sunnah pun terjadi perbedaan faham, seperti pihak sunni Asy'ariyah dengan Sunni Salaf.

Manakala masing-masing memahami bahwa tempat berpijaknya berbeda, maka tidak perlu menyebar rasa permusuhan sesamanya. Ada yang karena keterbatasan ilmu, akalnya terlalu agresif sampai mengkafirkan yang lain. Adapula yang karena merasa intelek hingga pemikirannya lepas dari Islam.

Dalam bidang Fiqh juga ada perbedaan faham yang cukup banyak. Di satu pihak ada amalan dihitung wajib, sementara di satu pihak dianggap haram, satu pihak sunat di lain pihak dianggap Bid'ah. Hal ini wajar terjadi karena berbeda tempat berpijak untuk memandang sesuatu.

Sebagai suatu contoh kasus : Kelompok Mahzab Syaf'ii mengakui bahwa sesuatu pekerjaan itu boleh dilakukan selama tidak dilarang Nabi, sementara ada kelompok lain menganggap semua pekerjaan yang boleh dilakukan hanyalah yang dicontohkan Nabi saja. Selain itu, semuanya Bid'ah. Karena cara-cara pandang yang berbeda inilah maka lahir beberapa perbedaan pula dalam pemahaman.

Disayangkan orang-orang yang tidak pernah bisa berlembut hati mengakui adanya perbedaan itu. Dalih. sudah jelas dan nyata, sehingga tidak mungkin berbeda pandang lagi, katanya.

Disayangkan pula orang orang yang terlalu berani mencampuradukajaran Islam dengan ajaran kafir hanya karena merasa dirinya intelek.

Suatu hari ada seorang muallaf. Setelah beberapa bulan mengaji dengan sebuah kelompok pengajian, kemudian dia diluar dengan lantang mencaci maki kitab Riyadhus Shalihin sebuah kitab hadist besar karangan imam Nawawi Ad Damsiqi.

Dia juga melarang orang-orang yang sedang membaca kitab tersebut di masjid dengan menyatakan bahwa kitab itu adalah kitab tasawuf yang bid'ah dan penuh dengan hadist dhaif Ma'udhu serta dikritik oleh "seorang syeikh".

Seorang muallaf yang belum bisa lancar membaca Al Qur'an sudah berani menghina ulama sekaliber Imam Nawawi dan memuja-muja "seorang syeikh". Tidakkah di pengajian itu diajarkan penghormatan terhadap ulama lain di luar Madzhab mereka. Apakah dalam pengajian itu diajarkan bahwa Ikhtilaf yang boleh ditoleransi hanyalah Ikhtilaf di kalangan ulama mereka saja, sedangkan di luar ulama mereka, semuanya tergolong sesat?

Hari ini banyak beredar tulisan, buku, majalah atau selebaran yang isinya syarat hantaman terhadap pihak lain yang berbeda dengan paham, pikiran atau golongan mereka. Menghantam memang lebih mudah daripada bersabar. Ringkas, cepat dan puas... tetapi Islam tidak mengajarkannya.

Banyak pula yang berlebihan longgarnya hingga berani mencampur aduk Islam dengan ajaran bukan Islam setelah belajar Islam dari orang kafir.

Salah satu contoh adalah tuduhan terhadap Imam Nawawi sebagai ulama Ahli Hadistyang sesat karena menganut Tauhid Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Al Asy'ariyah. Padahal murid Syaikh Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Katsir yang seorang alim, dalam kitabnya Qishasul Anbiya justru memuji Imam Asy'ari sebagai ulama besar kelompok Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Ada perkataan bahwa agama kita hanya diperintahkan mengikuti Allah dan Rasulnya, Al Quran dan Al hadits, bukan mengikuti Imam Madzhab. (Biasa terlontar dari sikap ghuluw, atau aliran sekuler)

Pernyataan ini bisa berbahaya, karena seolah secara tidak langsung mengatakan bahwa fatwa para Imam Madzhab telah keluar dari hukum Allah dan Rasulnya, dan seolah-olah secara tidak langsung telah mengatakan bahwa fatwa para Imam Madzhab hanyalah akal-akalan para imam.

-- Mutiara Amaly |Volume 49|
Inginkan mutiara selamilah lautan.. Inginkan bahagia tempuhilah penderitaan.. Inginkan kejayaan relailah pengorbanan.. Ketahuilah bahwa kepahitan itu sebenarnya terkandung seribu kemanisan...

dari mana aja sih yang baca nih blogg??

Dengerin Album Jikustik - Siang